Bersahabat dengan Tuhan
SALAH satu konsep persahabatan dengan Tuhan ialah konsep penyatuan dengan Tuhan (wahdatul wujud). Konsep ini digagas oleh seorang teosofi bernama Muhyiddin Ibn Arabi. Agak mirip dengan , yaitu unsur nasut dalam diri manusia dikonsepsikan sebagai makhluk (al-khalq) dan unsur lahut dikonsepsikan sebagai haq (al-haq). Semua makhluk sebenarnya mempunyai kedua aspek ini. Aspek luar atau lahir (dhahir/accident) disebut Al-khalq dan aspek dalam (bathin/substance) disebut al-haq. Aspek pertama disebut mempunyai sifat kemakhlukan dan aspek kedua mempunyai sifat ketuhanan. Tuhan ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya maka terciptalah alam ini. IbnuArabi seorang sufi sekaligus filosof menggambarkan alam ini sebagai cerminan (tajalli) dari Tuhan. Di kala Ia ingin melihat dirinya maka Dia melihat alam. Pada setiap benda (makhluk) terdapat unsur atau sifat ketuhanan. Dari sinilah muncul faham kesatuan. Yang ada dalam ini kelihatannya banyak tetapi sebenarnya satu. Ibarat seseorang melihat dirinya dalam beberapa cermin. Kelihatannya banyak tetapi obyek sesungguhnya hanya satu. Penjelasan lainnya, manusia ibarat melihat ke dalam cermin. Hakekat wujud sesungguhnya bukan yang terdapat di dalam cermin itu, meskipun sama persis dengan apa adanya di dalam cermin itu. Hakekat wujud yang sesungguhnya ialah yang di depan cemin itu. Kita atau para makhluk itulah yang di dalam cermin tetapi yang di depan cermin itulah hakekat wujud yang sebenarnya.Mirip yang dikatakan oleh filosof Parmenides: Yang ada itu satu, yang banyak itu tidak ada. Yang berwujud selain Tuhan adalah wujud ilusi (palsu). Wujud yang sebenarnya atau wujud hakiki ialah Tuhan. Jika manusia ingin berjumpa dengan Tuhannya cukup menghayati secara mendalam alam raya ini. Siapa yang memahami dirinya maka ia akan memahami Tuhannya (man arafa nafsahu fa qad arafa Rabbahu).Konsep wahdatul wujud banyak menimbulkan kontroversi di kalangan ulama, khususnya ulama fikih. Ini bisa dimaklumi karena cara pandang dan kacamata yang digunakan antara keduanya berbeda. Pada saatnya kalau seseorang memiliki wawasan luas dan komprehensif, cenderung tidak gampang menyalahkan orang lain, seperti kara hukama: Orang yang gampang menyalahkan orang lain pertanda masih harus belajar, orang yang mulai menyalahkan dirinya sendiri sudah mulai belajar, dan orang yang tidak menyalahkan siapapun sudah selesai belajar, karena sudah arif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar